Sabtu, 20 September 2014

Tulus itu Tanpa Paksaan

"Tidak ada pasal dalam undang-undang yang melegalkan kita memaksa orang lain untuk tulus"
Yah, kalimat ini cukup menggelitik dan memancing berbagai dugaan. Tentu, mungkin kalimat ini bisa disampaikan oleh seseorang yang merasa melakukan sesuatu dengan setengah hati, misalnya si A membantu si B, namun bantuan yang diberikan tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh si B sehingga si B mengetahui bahwa si A tidak tulus membantunya, dan ia mengajukan tuduhan, "kamu tidak tulus membantu saya, ya?". Jawaban dari tuduhan tersebut dapat berupa kalimat di atas. Berbeda pula kasusnya dengan si C yang memberikan bantuan kepada si D, bantuan yang diberikan oleh si C cukup mengesankan untuk si D. Namun ternyata, suatu ketika terjadi kesalahpahaman antarkeduanya, dan terlontarlah ucapan dari mulut si C bahwa selama ini ia hanya berpura-pura melakukan kebaikan kepada si D, dia tak pernah benar-benar ingin membantu si D. Kontan saja hal ini membuat si C kebingungan. Dalam hatinya terucap kata-kata sebagaimana kutipan di atas.
Memang tidak ada yang berhak memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu dengan tulus. Tulus atau seringkali disejajarkan dengan kata 'ikhlas' hadirnya dari dalam hati, bukan dari paksaan siapapun. Akan tetapi, ketidaktulusan orang lain terhadap kita juga bukan merupakan hal yang membahayakan. Ketika kita menerima kebaikan dari orang lain, terimalah. Terlepas dia tulus atau tidak. Dan alangkah lebih baik jika kita membalas kebaikannya dengan yang lebih baik, yakni kebaikan yang disertai ketulusan.